Kamis, 09 September 2021

Suro Agung (Tradisi mengungkapkan syukur kepada Tuhan YME atas berkah dan nikmat yang diberikan)


Perayaan bulan Suro agaknya mengental di kalangan masyarakat Madiun. Terbukti, setiap tahun, tepatnya tanggal 1 Suro, masyarakat menggelar acara larung saji. Tahun 2018 ini, Suro Agung diadakan di Kelurahan Nambangan Lor. Sedekah bumi atau sesaji dilarung ke Sungai Bengawan.

Namun sebelumnya, masyarakat mengadakan bersih desa. Tujuan acara ini adalah untuk mengungkapkan syukur terhadap Tuhan Yang Maha Esa atas berkah dan nikmat yang diberikan kepada mereka. Tidak hanya itu, masyarakat juga melakukan ziarah ke makam para leluhur di Kelurahan Nambangan Lor.

Peninggalan kerajaan Mataram yang ada di Madiun selain berupa fisik seperti Masjid Kuno Kuncen dan Masjid Kuno Taman Madiun, ada juga peninggalan budaya yang turun temurun oleh masyarakat Madiun digunakan sebagai tradisi lokal-kultural. Bahkan, beberapa tradisi lokal seperti Suran Agung dan Ruwat Sengkolo Bumi Projo menjadi kegiatan rutinan setiap tahun.

Tradisi lokal yang sudah menjadi corak kultral di wilayah Madiun itu seakan menjadi acara wajib tahunan yang sarat dengan nilai sejarah dan sosial. Pasalnya—dua tradisi yang sudah disebutkan di atas—masih erat hubungannya dengan peringatan malam Satu Suro (pergantian tahun Hijriyyah) yang bagi sebagian masyarakat Jawa dianggap sakral, simbolik dan penting.

Tradisi saat malam Satu Suro bermacam-macam tergantung daerah mana memandang peristiwa ini, sebagai contoh Tapa Bisu, atau mengunci mulut tidak mengeluarkan kata-kata selama ritual ini. Dengan tujuan untuk mawas diri, berkaca pada diri atas apa yang sudah dilakukannya selama setahun penuh, dan menghadapi tahun baru di esok paginya.

Tradisi lainnya yang lumrah kita ketahui adalah Kungkum atau berendam di sungai besar atau sendang. Wilayah Jogjakarta dan sekitarnya juga memiliki tradisi berbeda dalam menyemarakkan malam Satu Suro, yaitu Tirakatan (dengan tidak tidur semalam suntuk) dengan Tuguran (perenungan diri sambil berdoa) dan Pagelaran Wayang Kulit. Selebihnya, tidak sedikit yang menjadikan malam suro sebagai saat yang tepat untuk melakukan Ruwatan (tradisi upacara adat).

Madiun sendiri memiliki ciri khas dan pola berbeda dalam merayakan tradisi malam satu suro. Mengingat Madiun yang diatribusikan dengan Kampung Silat—lantaran delapan dari sebelas pencak silat yang ada di Indonesia lahir dan besar di bumi Madiun—maka tidak heran kalau orang yang terafiliasi dengan salah satu pencak silat menggunakan momen monumental seperti ini sebagai ajang silaturahmi, mencuci pusaka dan pengesahan anggota baru.

Lumrahnya, pada malam harinya mereka mencuci pusaka, nyekar di makam leluhur dilanjutkan dengan tirakatanmelekan (tidak tidur semalam suntuk) atau biasanya acara pelantikan anggota yang sudah dinyatakan lulus/sah menjadi warga dan paginya keluar keliling wilayah Madiun menggunakan motor. Sedihnya, anggota pencak silat yang kebanyakan muda sering tidak bisa mengendalikan emosi saat konvoi. Akhirnya berujung pada kerusuhan, anarkis dan membahayakan bagi warga sekitar.

Namun di akhir-akhir tahun ini semua sudah berubah atas kesigapan serta pendekatan yang dilakukan aparat keamanan. Ketakutan serta kekhawatiran masyarakat kini sudah mulai hilang bahkan masyarakat sudah merasakan ketentraman dan kenyamanan dengan adanya acara Suran Agung yang digelar. Di tahun 2020, melalui rapat koordinasi antara perwakilan dari pengurus Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT), Persaudaraan Setia Hati Winongo (PSHW), dan Ikatan Pencak Silat Indonesia (IPSI) sepakat meniadakan tradisi Suronan karena pandemi Covid-19.

Peristiwa seperti ini sering dijumpai di wilayah Madiun, terlebih pencak silat Persaudaraan Setia Hati Terate dan Persaudaraan Setia Hati Winongo. Dua organisasi pencak silat terbesar di Indonesia itu tidak pernah absen untuk ikut serta menyemarakkan tradisi suroan yang hanya digelar sekali dalam setahun. Tradisi yang sarat dengan nilai sosial, kultural dan religius.

Peristiwa seperti ini sering dijumpai di wilayah Madiun, terlebih pencak silat Persaudaraan Setia Hati Terate dan Persaudaraan Setia Hati Winongo. Dua organisasi pencak silat terbesar di Indonesia itu tidak pernah absen untuk ikut serta menyemarakkan tradisi suroan yang hanya digelar sekali dalam setahun. Tradisi yang sarat dengan nilai sosial, kultural dan religius.

Hemat penulis, peninggalan budaya yang dari dulu nenek moyang ejawentahkan dalam kesehariannya dan terbawa hingga anak cucunya jauh lebih bisa diterima dan dirasakan pada zaman sekarang. Mengingat tantangan zaman yang lebih komplek dan mayoritas komunal yang memprioritaskan jalan praktis dan realistis, maka tidak salah kalau rata-rata asumsi orang sekarang terfokus pada kecanggihan teknologi dan komunikasi.

Sebut saja misalnya anak di zaman sekarang jauh berbeda dengan anak pada zaman dahulu. Kontras perbedaan yang sangat layak untuk dijadikan alasan adalah ketika intervensi teknologi canggih sudah meramban memasuki kawasan mindset mereka (anak zaman sekarang). Lebih suka dan bergairah memainkan barang yang hanya segenggam tangan dengan aplikasi yang memanjakan mata berjam-jam dibanding mencoba mengingat kembali sejarah yang mulai ditinggalkan oleh mayoritas orang.

Kini saatnya, sebagai Generasi Z (orang-orang yang lahir pada 1995-2010) yang tumbuh ditemani transisi perkembangan teknologi mengkontruksi kembali pola pikir, bahwa breakdown mengulas catatan dan sejarah lama serta melanggengkan tradisi yang sudah ada kiranya perlu. Lebih baiknya juga perlu mengakulturasikannya dengan inovasi-inovasi baru. Sebab pola pikir Generasi Z lebih terbuka terhadap perubahan dan inovatif untuk mengembangkan hal baru.

Sumber: justisia.com

Ruwatan Bumi (Tradisi mengucap syukur kepada Tuhan YME atas hasil panen yang berlimpah)


 Tradisi ruwatan bumi biasa diselenggarakan di Kelurahan Winongo, Kecamatan Manguharjo, Kota Madiun. Adat tersebut diadakan dengan tujuan menghormati nenek moyang dan ungkapan rasa syukur terhadap Tuhan Yang Maha Esa atas hasil panen pertanian. Pun sebagai bentuk sedekah hasil bumi agar terhindar dari bahaya atau malapetaka.

Acara ruwatan diawali dengan kirab gunungan yang berisi hasil bumi dan jajanan pasar. Malam harinya, masyarakat mengadakan pagelaran wayang dengan lakon kekinian. Sebelum pagelaran dimulai, para sesepuh desa memberikan sambutan dan doa untuk keselamatan masyarakat.

Ruwat sengkolo bumi projo merupakan tradisi yang diadakan setiap bulan Muharam atau tepatnya bulan Suro. Tradisi tersebut dilakukan secara turun-temurun sejak zaman dahulu. Adapun rangkaian acaranya diawali dengan kirab budaya, kirab pusaka dan tumpeng, serta jamasan pusaka.

Biasanya, jamasan pusaka dilakukan di sumber mata air belerang di Taman Wisata Umbul. Jamasan berarti memandikan pusaka dengan tradisi masyarakat setempat. Setelah jamasan, dilanjutkan acara khurasan sendang. Ritual ini dilakukan oleh para sesepuh di Madiun.


Sumber: phinemo.com

Nyadran (Tradisi mendoakan para leluhur dengan kenduri)

 Menjelang Ramadan, masyarakat Jawa banyak yang berkunjung ke makam-makam. Di sana mereka mendoakan para leluhur, membersihkan makam, menaburkan bunga, dan mengadakan acara kenduri. Di kalangan masyarakat Jawa, tradisi unik itu dikenal dengan nama Nyadran.

Dilansir dari Ngawikab.id, kata “Nyadran” berasa dari Bahasa Sansekerta, “sraddha” yang berarti keyakinan. Nyadran biasanya dilakukan pada hari ke-10 Bulan Rajab atau di awal Bulan Sya’ban.

Dalam tradisi itu, masyarakat akan berdoa untuk kakek-nenek, bapak-ibu, serta saudara-saudari mereka yang telah meninggal. Setelah berdoa, mereka menggelar makan bersama, di mana makanan yang disajikan merupakan makanan tradisional seperti ayam ingkung, sambal goreng ati, urap sayur dengan daun rempah, tempe, tahu bacem, dan lain sebagainya. Lantas seperti apa sejarah tradisi itu bermula?

tradisi Nyadran sebenarnya sudah ada sejak zaman Hindu-Buddha. Sejak abad ke-15, para Walisongo menggabungkan tradisi tersebut dengan dakwahnya agar Islam mudah diterima.

Pada waktu itu, para Walisongo berusaha meluruskan kepercayaan masyarakat Jawa waktu itu tentang pemujaan roh yang dalam Islam dinilai musyrik. Namun, agar tidak berbenturan dengan tradisi Jawa, mereka tidak menghapuskan adat tersebut, melainkan menyelaraskan dan mengisinya dengan ajaran Islam seperti membaca Alquran, tahlil, dan doa.

Sumber: www.merdeka.com